Nama Sammaria Simanjuntak berhasil mencuat di blantika industri film Indonesia setelah filmnya cin(T)a
(2009), yang secara cerdas mengangkat tema penceritaan mengenai
hubungan cinta antar pasangan yang berbeda agama, mampu mencuri
perhatian banyak pecinta film Indonesia dan bahkan berhasil memenangkan
penghargaan Penulis Skenario Cerita Asli Terbaik di ajang Festival Film
Indonesia pada tahun tersebut. Lalu apa yang dilakukan Sammaria untuk
mengikuti kesuksesan besar tersebut? Empat tahun setelahnya, termasuk
setelah beberapa jangka waktu proses pengumpulan dana secara gerilya
agar filmnya dapat ditayangkan di layar bioskop nasional, Sammaria
akhirnya merilis Demi Ucok, sebuah film drama komedi dengan kisah yang terasa sangat personal plus dengan balutan kebudayaan Batak yang kental.
Demi Ucok
berkisah mengenai seorang pembuat film muda bernama Gloria Sinaga
(Geraldine Sianturi) yang akrab dipanggil Glo. Setelah kesuksesan film
pertamanya yang berhasil meraih penghargaan film bergengsi, Glo menemui
kesulitan besar dalam merampungkan film keduanya. Tidak hanya terhambat
dalam mencari ide cerita yang bagus – dan, yang menurutnya, harus naik
kelas jika dibandingkan dengan film pertamanya – Glo juga kesulitan
mendapatkan dana untuk memproduksi filmnya tersebut. Satu-satunya
bantuan yang dapat ia harapkan berasal dari ibu kandungnya sendiri, Mak
Gondut (Mak Gondut). Sayangnya… bantuan tersebut tidak akan datang
begitu saja pada Glo.
Mak Gondut adalah seorang wanita yang
masih memegang teguh kebudayaan Batak dalam kesehariannya. Baginya,
kesuksesan seorang wanita diukur dengan keberhasilannya dalam berumah
tangga. Dan khusus untuk seorang wanita berdarah Batak, kesuksesan
tersebut masih ditambah lagi dengan kemampuan untuk menikah dengan
seorang pria Batak. Usia Glo yang telah menginjak 29 tahun membuat Mak
Gondut selalu memburu-buru puterinya untuk segera mencari jodoh. Guna
menarik minat puterinya, Mak Gondut lalu memberikan sebuah penawaran:
jika Glo mau menikahi seorang pria berdarah Batak, maka Mak Gondut akan
memberikan uang yang cukup untuk biaya produksi film. Sebuah penawaran
yang jelas ditolak mentah-mentah oleh Glo. Hasilnya… keduanya lantas
terlibat dalam sebuah perang pembuktian kebenaran pendapat
masing-masing.
Lewat Demi Ucok, Sammaria
Simanjuntak sekali lagi membuktikan bahwa dirinya masih memiliki
segudang ide-ide cerita besar untuk dituangkan dalam filmnya. Ketika
para pembuat film lain masih kelimpungan untuk mencari ide yang nyeleneh
untuk dipresentasikan dalam film mereka atau beralih untuk mengadaptasi
karya-karya sastra popular, Sammaria justru berpaling pada pengalaman
pribadi dalam kesehariannya, baik sebagai seorang puteri yang berasal
dari keluarga berdarah Batak maupun sebagai seorang pembuat film. Namun,
tentu saja, sebuah film tidak hanya dapat mengandalkan ide besar
semata. Ide besar tersebut harus dapat dikembangkan menjadi sebuah
presentasi cerita yang besar pula. Disinilah letak kelemahan Demi Ucok.
Layaknya sebuah mobil yang berjalan cepat, Sammaria seperti menekan penuh gas penceritaan Demi Ucok semenjak film ini dimulai. Hasilnya, Demi Ucok
benar-benar terasa hadir dengan ritme penceritaan yang cepat dalam
mengenalkan deretan karakter serta komedinya di awal film. Guyonan yang
berisi satir mengenai kondisi sosial, politik, industri perfilman
nasional hingga guyonan-guyonan yang bernafaskan kebudayaan Batak
berhasil disajikan secara penuh pada separuh awal durasi penceritaan
film ini. Menghibur walaupun seringkali terasa bagaikan kumpulan sketsa
komedi daripada sebagai sebuah kesatuan cerita yang kuat. Sayangnya,
setelah masa-masa tersebut, Sammaria kelihatan seperti kehilangan ide
mengenai bagaimana cara melanjutkan kisah yang ia bangun.
Paruh kedua Demi Ucok kehilangan
banyak energi komedinya untuk kemudian berganti dengan drama ringan
seputar hubungan ibu dan anak yang sialnya malah gagal untuk bekerja
sama baiknya dengan penceritaan awal Demi Ucok. Pada paruh kedua ini pula, Demi Ucok
terkesan menjadi sebuah perkumpulan kisah-kisah pendek yang gagal
berpadu dengan baik satu sama lain. Hal ini terus berlanjut hingga
durasi sepanjang 79 menit film ini berakhir, dengan Sammaria terlihat
seperti melemparkan begitu saja berbagai ide yang ia miliki – termasuk
tentang kisah penyakit yang diderita ibunya atau kisah perjuangan
sahabatnya, A Cun (Sunny Soon), untuk meraih ketenaran – tanpa pernah
berhasil mengolahnya dengan baik.
Departemen akting Demi Ucok
sendiri mampu memberikan penampilan yang kuat, khususnya dari dua
pemeran utama film ini, Geraldine Sianturi dan Mak Gondut. Keduanya
mampu memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai pasangan ibu dan
anak yang saling bersaing dalam menunjukkan kebenaran prinsip hidup
masing-masing. Walaupun hadir dengan sikap komedi yang mencuat, namun
Geraldine dan Mak Gondut tidak pernah terkesan berlebihan dalam
menampilkan aktingnya. Beberapa karakter pendukung juga mewarnai banyak
adegan Demi Ucok. Sayangnya, karakter-karakter pendukung tersebut
tidak pernah diberikan porsi cerita yang memadai untuk dapat
menghasilkan kisah pendukung yang esensial dalam mengawal kisah utama
yang disajikan film ini.
Presentasi teknikal Demi Ucok juga
harus diakui memiliki kualitas yang kurang memuaskan – jika tidak mau
disebut sebagai mengecewakan. Banyak pihak yang mungkin akan memaklumi
hal ini dengan anggapan bahwa Demi Ucok adalah sebuah film yang diproduksi secara independen. Pun begitu, bahkan Demi Ucok memiliki presentasi teknikal yang lebih lemah jika dibandingkan dengan film Sammaria sebelumnya, cin(T)a, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk ditayangkan secara luas di layar bioskop nasional. Demi Ucok
hadir dengan kualitas sinematografi dan tata editing yang terkesan
dilakukan secara buru-buru sehingga tidak mampu tampil maksimal. Kasar
dan begitu mengganggu.
Demi Ucok sebenarnya memiliki ide
dasar penceritaan yang jelas menarik. Sayangnya, ide dasar tersebut
mendapatkan hambatan dari cara pengembangan cerita yang terlalu sempit.
Setelah menyajikan ide tersebut sebagai sebuah komedi yang berjalan
bombastis semenjak permulaan film, Sammaria Simanjuntak kemudian seperti
kehilangan ide mengenai bagaimana cara yang tepat untuk meneruskan
kisah tersebut. Akhirnya, Demi Ucok justru terjebak ke dalam
berbagai drama yang sama sekali tidak esensial kehadirannya. Parahnya
lagi, sisi teknikal film ini juga gagal untuk memberikan tampilan akhir
yang memuaskan. Sebuah contoh lain dari ide segar yang sayangnya gagal
untuk dieksekusi dengan baik.
Comments[ 0 ]
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.