Manusia–manusia Rigid, Akan Sulit Sendiri
(oleh: Rhenald Kasali)
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta dari Frankfurt, duduk di sebelah saya salah seorang CEO per
usahaan terkemuka Indonesia. Pria berkebangsaan India yang sangat berpendidikan itu bercerita tentang karir dan perusahannya.
Gerakan keduanya (karir dan perusahaannya) begitu lincah. Tidak seperti
kita, yang masih rigid, terperangkap pola lama, seakan-akan semua layak
dipagari, dibuat sulit. Perusahaan sulit bergerak, impor-ekspor
bergerak lambat, dwelling time tidak konsisten. Sama seperti karier
sebagian kita, terkunci di tempat. Akhirnya hanya bisa mengeluh.
Pria itu dibesarkan di India, kuliah S-1 sampai selesai di sana, menjadi
alumni Fullbright, mengambil S-2 di Amerika Serikat, lalu berkarir di
India sampai usia 45 tahun. Setelah itu menjadi CEO di perusahaan
multinasional dari Indonesia.
Perusahaannya baru saja mengambil
alih sebuah pabrik besar di Frankfurt. Namun karena orang di Frankfurt
masih kurang yakin dipimpin eksekutif dari emerging countries, ia
membujuk pemasoknya dari Italia agar ikut memiliki saham minoritas di
Frankfurt. Dengan kepemilikan itu, pabrik di Frankfurt dikelola
eksekutif dari Eropa (Italia).
Solved!
Itu adalah gambaran
dari agility. Kelincahan bergerak yang lahir dari fenomena borderles
world. Anehnya juga kita mendengar begitu banyak orang yang cemas
menghadapi perubahan. Dunia sudah lebih terbuka, mengapa harus terus
merasa sulit? Susah di sini, bisa bergeser ke benua lain. Tak ada lagi
yang sulit. Ini tentu harus disyukuri.
Serangan Tenaga Kerja
Belum lama ini kita membaca berita tentang kegusaran seseorang yang
tulisannya diforward kemana-mana melalui media sosial. Mulai dari
berkurang agresifnya angka pertumbuhan, sampai serangan tenaga kerja
dari China.
Berita itu di-forward kesana – kemari, sehingga
seakan-akan tak ada lagi masa depan di sini. Yang mengherankan saya,
mengapa ia tidak pindah saja bekerja dan berimigrasi ke negara yang
dipikirnya hebat itu?
Bekerja atau berkarir di luar negri tentu
akan menguntungkan bangsa ini. Pertama, Anda akan memberi kesempatan
kerja pada orang lain yang kurang beruntung. Dan kedua, Anda akan
mendapatkan wisdom, bahwa hal serupa, komplain yang sama ternyata juga
ada di luar negri.
Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat
Lufthansa tadi mengeluhkan tentang negerinya. “Orang Indonesia
baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit,
bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India
tidak! Di India politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh
tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat
persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis.”
Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.
Susah? Kerja Lebih Profesional!
Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda mengantar
saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan
siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah.
“Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat
mengemudi,” ujarnya.
Kepada putra saya ia mengajari. "Saat
bekerja kita harus bekerja, harus profesional, gesit dan disiplin. Cari
kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih
kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.
Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan
Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine
yang dianggap sakral. Di situ mereka berkeluh kesah tentang perekonomian
Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Dan lagi-lagi mereka
menyebutkan kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali dan
Pulau Jawa.
Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga
sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. “Dari dulu kalian terlalu
rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian
sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Tetapi, saya tak
pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia,
dari pada Indonesia.” Saya pun terdiam.
Di Singapura, saya
mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman
kesulitan pada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarir di sana. Ia
pun menjawab ringan, “Suruh orang-orang itu kerja di sini saja.”
Tak lama kemudian ia pun meneruskan. “Kalau sudah kerja di sini baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile.”
Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya
berobat ke negeri itu. “Mana bisa konkow-konkow, main Facebook,
nge-tweet di jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif,
dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita
(Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil
kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja,” ujarnya.
Saat itu ia tengah menghadapi masa probation atau percobaan. Sungguh
khawatir kursinya akan direbut pekerja lain dari India, Turki, dan
Prancis yang bahasa Inggrisnya lebih bagus, dan ritme kerjanya lebih
cepat. Ternyata bekerja di negeri yang perekonomiannya bagus itu juga
tidak mudah. Padahal di sana mereka lihat kerja yang enak itu ya di
sini.
Bangsa Merdeka Jangan Cengeng
Saya makin terkekeh
membaca berita yang disebarluaskan para haters melalui grup-grup WA,
bahwa pemerintah sekarang tidak perform, membiarkan sepuluh ribuan buruh
dari China merangsek masuk ke negri ini. Sungguh, saya tak gusar dengan
serangan tenaga kerja itu. Yang membuat saya gusar adalah kalau hal
serupa dilakukan bangsa-bangsa lain terhadap tenaga kerja asal Indonesia
di luar negri.
Penyebar berita kebencian itu mestinya lebih
rajin jalan-jalan ke luar negri. Bukankah dunia sudah borderless, tiket
pesawat juga sudah jauh lebih murah. Cara menginap juga sangat mudah dan
murah. Kalau saja ia rajin, maka ia akan menemukan fakta-fakta ini:
Sebanyak 300.000 orang tenaga kerja Indonesia bekerja di Taiwan. 250.000
lainnya di Hongkong. Lebih dari 100.000 orang ada di Malaysia. Selain
itu, perusahaan-perusahaan kita sudah mulai mengepung Nigeria, Myanmar,
dan Brazil. Bahkan juga canada dan Amerika.
Jadi bagaimana ya? Kok baru dikepung 10.000 saja kita sudah rasis? Ini tentu mengerikan.
Lalu dari grup WA para alumnus sekolah, belakangan ini saja juga
mendapat kiriman teman-teman yang kini berkarir di manca negara. Delapan
keluarga teman kuliah saya ada di Kanada, beberapa di Jerman dan Eropa,
puluhan di Amerika Serikat, dan yang terbanyak tentu saja di Jakarta.
Semakin banyak orang kita yang berkarier bebas di mancanegara. Karir
mereka tidak rigid.
Jadi, janganlah kita cengeng. Beraninya hanya
curhat dan komplain, tapi tak berbuat apa-apa. Bahkan beraninya hanya
menyuarakan kebencian. Atau paling-paling cuma mengajak berantem dan
membuat akun palsu bertebaran. Kita juga jangan mudah berprasangka.
Syukuri yang sudah didapat. Kecemasan hanya mungkin diatasi dengan
berkomitmen untuk bekerja lebih jujur, lebih keras, lebih respek, lebih
profesional, dan memberi lebih.
Kalau Anda merasa Indonesia sudah
“berbahaya” ya belain dong. Kalau Anda merasa tak senang dengan orang
lain, ya sudah, pindah saja ke luar negri. Mudah kok. Di sana Anda akan
mendapatkan wisdom, atas kata-kata dan perbuatan sendiri. Di sana kita
baru bisa merasakan kayanya Indonesia. Di sana kita baru tahu bahwa tak
ada hidup yang mudah.
Comments[ 0 ]
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.